Salah satu contributor Kitongbisa pertama kali bertemu dengan Yohana Baransano ketika hendak berangkat ke Australia dan mengirimkan email ke Facebook page dari persatuan mahasiswa Indonesia di Canberra untuk mencari tempat tinggal. Begitu mengetahui bahwa calon mahasiswa ini berasal dari Papua, Yohana yang biasa di sapa Ana langsung menanggapi dengan cepat dan menawarkan memberikan bantuan. Ternyata bukan hanya karena rasa solidaritasnya ingin membantu sesama Papua, Ana adalah memang seorang yang berjiwa penolong dan selalu mengutamakan orang lain. Kita akan telaah hal ini lebih jauh dari cerita lengkap kisah sukses dari wanita asal numfor ini.
Ana sudah berprestasi sejak dia berada di bangku SMA. Ana selalu memiliki nilai yang baik dan diatas rata-rata. Ana bersekolah di SMK N 1 Jayapura dan mengambil spesialisasi bahasa. Ketika hasil ujian keluar saat itu, Ana mencatat prestasi sebagai siswa dengan nilai bahasa inggris tertinggi. Hal ini membuat Ana terpilih sebagai salah satu siswa yang akan dikirim mengikuti pertukaran pelajar ke Kanada pada tahun 1996 selama kurang lebih 9 bulan. Pertukaran tersebut diadakan oleh Dinas Pendidikan Nasional bekerja sama dengan seluruh pemerintah provinsi (daerah) yang ada di Indonesia. Setengah dari masa pertukaran itu akan dihabiskan di Indonesia dan setengahnya lagi akan dihabiskan di Kanada. Ana bersama dengan teman-temannya ditempatkan di salah satu daerah di Sulawesi Utara, yaitu Bolan Mongondow. Setelah Masa pertukaran berakhir, Ana dan salah satu counterpartnya menunjukkan prestasi nilai yang baik dan hal ini membuat mereka terpilih untuk menyampaikan pidato di depan menteri pendidikan nasional saat itu.
Setelah pertukaran pelajar tersebut, waktunya bagi Ana untuk masuk ke bangku kuliah. Ana memilih jurusan Bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih. Universitas Cenderawasih menawarkan 3 penjurusan bahasa inggris saat itu, yaitu: Linguistic, Teaching dan Literature. Ana adalah pribadi yang suka dengan tantangan dan pengambil resiko. Dia memilih mengambil jurusan Literature (Sastra) yang sukar untuk ditempuh dengan Jalur skripsi. Ana berpikir untuk mengasah kemampuannya melakukan riset, dibandingkan dengan jalur ujian komprehensif (hanya perlu ujian saja tanpa membuat skripsi untuk memperoleh kelulusan). Ana kembali membuat prestasi demi prestasi baik secara akademis maupun non akademis. Ana termasuk dalam daftar para pencetus English contest di UNCEN yang sangat terkenal saat itu dan juga English debate competition antar SMA. Ide tersebut ditelurkan dengan proses persiapan yang matang termasuk sampai harus melakukan rapat dan presentasi ke Bandung, Jawa Barat.
Pada akhir masa kuliahnya, Ana harus menyelesaikan proses skripsinya. Dia melakukan analisis terature tentang novel “pride and prejudice”. Analisis yang harus dilakukan adalah objective analysis. Hasil kerja kerasnya membuahkan Nilai A untuk skripsinya. Selama mengerjakan skripsinya, Ana diangkat menjadi asisten dosen dan pengajar lepas membantu Isac Morin, salah satu dosen dan pengajar di Uncen. Ana juga sudah bekerja sebagai sekretaris di UNICEF sejak tahun 2001 sebelum kelulusannya di tahun 2003, sembari menyelesaikan skripsinya. Selepas kontraknya dengan Unicef dan setelah tamat kuliah, Ana sekali lagi keluar dari Zona nyamannya dan menyambut tantangan untuk menjelajahi bumi pegunungan Papua. Ana mengabdikan dirinya mengajar bahasa inggris di Akademi Bahasa Asing “Netaiken” di daerah Piramid, Wamena selama 6 bulan.
Setelah masa pengabdian 6 bulannya berakhir, Ana memutuskan kembali ke Jayapura. Disana, sebuah pekerjaan baru telah Menanti, Ana mengajar di sebuah LSM milik gereja, di bagian pengajaran bahasa Inggris pada lembaga yang bernama “Manyouri”. Ana mengabdi disana selama 3 bulan. Setelah 3 bulan itu, ana melihat lowongan pekerjaan dari UNDP yang menawarkan beberapa posisi. Diantaranya adalah Provincial Project Officer dan Finance & Administration. Saat itu Ana berpikir bahwa latar belakangnya sebagai seorang sekretaris akan sangat membantu dia bekerja di bagian Finance & Administration. Ana percaya diri dengan bagian itu dan memilih untuk mendaftar ke UNDP. Kenyataan berkata lain, karena kebutuhan akan seorang yang lancar berkomunikasi dengan bahasa inggris, dan Ana memiliki kemampuan itu, UNDP mendaulat Ana untuk bekerja sebagai seorang Provincial Project Officer. Project officer akan banyak sekali dituntut untuk menuliskan laporan dalam bahasa inggris. Project-project yang harus ditangani oleh Ana saat itu adalah yang berhubungan dengan Gender. Itu adalah pertama kalinya Ana berhubungan dengan Isu gender, dan sangat tertarik dengannya. Selama 2 tahun bekerja di sana, Ana belajar mengintegrasikan kepentingan gender kedalam program-program UNDP yang berjalan. Salah satunya adalah memasukan sensitifitas gender ke dalam program pengajaran lliteracy di masyarakat, dan juga memberikan contoh gender mainstreaming di satu program pemerintah.
Hasil kerja keras Ana dan prestasi yang ditorehkannya membuat Ana memperoleh tawaran untuk mengikuti Australian Leadership Award (ALA)isu untuk HIV di Melbourne, Australia pada tahun 2005 bersama dengan dosen gender dari Papua, di Victoria University. Seperti sebelum-sebelumnya, Ana selalu menjadi yang paling lancar bahasa inggrisnya dan selalu ditunjuk sebagai perwakilan kelompok untuk memberikan pendapatnya. Bagian dari program pertukaran ini adalah program internship di Oxfam, salah sebuah lembaga non profit milik Inggris dan Ana bersama kelopmpoknya dikirik melakukan studi banding ke Papua new guinea dengan funding dari Ausaid untuk meneliti isu gender disana.
Sepulangnya dari Papua New Guinea dan Australia, Ana memperoleh tawaran untuk bekerja di Worldbank sebagai seorang gender specialist karena track recordnya. Pekerjaan ini menghaurskan Ana untuk pergi ke kampung-kampung dan memantau serta mengontrol sensitifitas dari program Respek terhadap isu gender di Papua. Ana bekerja sebagai seorang partner dengan konsultan dari new Zealand untuk merancang program “women empowerment” dan merupakan program yang mengusung isu gender pertama di Papua dengan Oxfam sebagai fundernya. Ana menghabiskan masa kerja selama 2 tahun dengan worldbank dan akhirnya berhenti setelah kontraknya selesai.
Tahun 2011, Ana memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dan mendaftarkan dirinya untuk mengikuti seleksi beasiswa yang diadakan oleh Pemerintah Australia saat itu. Beasiswa itu adalah program beasiswa tahunan, dan bernama “Australia Award”. Ana tidak terlalu mengalami kesulitas untuk seleksi, karena track record dia secara professional sangat mengagumkan, ditambah dengan dia juga sangat terlatih menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Ana dinyatakan lulus program seleksi beasiswa tersebut dan diminta untuk memilih program study dan kampus di Australia. Seperti biasa, Ana adalah seseorang yang suka mengambil resiko dan tidak senang dengan Zona nyaman. Ana memilih salah satu institusi yang prestisius di Australia, yaitu The Australian National University, dengan program study research on Gender. Ana tidak memilih master dengan coursework (program belajar di kelas) karena itu dirasa oleh Ana kurang menantang. Sebelum diberangkatkan ke Australia, Ana dan rombongan batch-nya harus mengikuti program pelatihan bahasa inggris selama 6 bulan di Bali, untuk mempersiapkan kemampuan bahasa inggrisnya menghadapi perkuliahan di Australia.
Setelah Ana berada di Australia, dia mulai menghadapi hari-hari beratnya. Ana tidak berpikir sebelumnya bahwa proses riset di luar negeri itu sangat susah dan kompleks. Ana harus berhadapan dengan segudang bahan bacaan yang harus dia cerna setiap hari. Hal semakin rumit dengan kenyatannya bahwa Ana adalah pribadi yang multitasking dan tidak terbiasa focus mengerjakan satu hal saja dalam waktu yang lama. Proses yang ana lalui sangatlah berat, karena topic yang dia teliti juga susah, ditambah dengan dia harus menulis laporan risetnya sebanyak 10 ribu kata. Untuk dapat melakukan itu semua, Ana juga harus pergi ke Biak dan melakukan penelitian lapangan, untuk semakin memperkuat topic penelitiannya. Ana beruntung karena selain dia bekerja keras, dia juga memiliki supervisor yang sangat baik hati, sangat mendukung dia, dan juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga dia dapat mengerti kesulitan yang dihadai Ana untuk mencerna dokumen pendukung berbahasa inggris.
Ana mengalami goncangan psikologis hebat saat sedang menyelesaikan penelitiannya. Ayahnya meninggal dan kesulitan yang dialami Ana bukan hanya rasa kehilangan saja, tetapi sebagai seorang Anak yang tertua, dia harus mengambil alih beban untuk kelanjutan sekolah dari 4 orang adiknya. Ana bekerja keras untuk membagi uang beasiswa yang dia terima empat bulannya untuk berbagi dengan 4 orang adiknya yang masih sedang dalam masa study. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Satu dari adik Ana telah berhasil lulus SMA dan mendapatkan beasiswa untuk belajar di kanada, dua orang yang lain telah tamat kuliah dan menjadi pendeta, dan yang terakhir saat ini sedang belajar di manado di Universitas Sam Ratulangi. Dalam waktu yang relative singkat, dan hampir bersamaan saat itu, Ana mengalami kehilangan dua anggota keluarga yang lain, yaitu neneknya dan pamannya. Orang meninggal di Papua berarti harus ada pengeluaran untuk acara adat. Sebagai tulang punggung keluarga, Ana-lah yang harus mengambil alih beban finansial pengeluaran tersebut menggantikan ayahnya yang telah tiada.
Pada tahun 2013, semua kesusahan dan penderitaan tersebut berakhir sudah. Ana berhasil menyelesaikan kuliah courseworknya, dan risetnya juga telah berhasil dia rampungkan. Saat cerita ini ditulis oleh kitongbisa, thesis ana sedang direview oleh akademisi di ANU untuk proses pernyataan diterima sebagai ide yang original dan layak dipublikasikan sebagai jurnal akademis, atau tidak. Saat yang bersamaan, Ana sudah bekerja sebagai seorang ahli pendidikan untuk program pengembangan masyarakat Papua di salah sebuah perusahaan internasional.
Menutup wawancara dengan kitongbisa, Ana berpesan kepada para pemuda dan pemudi Papua, dan Indonesia lainnya, Take risk!!, tinggalkan zona nyaman, berani bermimpi besar. Tapi jangan lupa, bermimpi besar dan bekerja keras mewujudkannya itu menuntut usaha dan air mata, tapi harus berani bayar harganya. Ana juga berpesan, bahwa, merujuk kepada pribadinya yang bersedia repot untuk orang lain dan bersedia untuk berkorban orang lain, itu harus dipegang sebagai nilai dalam hidup ini. Jangan kita hanya pikir diri sendiri saja. Kuliah keluar negeri, melakukan ini dan itu, serta pencapaian presetasi itu harus difokuskan agar bermanfaat bagi orang lain. Sekolah tinggi-tinggi itu bukan untuk kebanggaan dirinya tapi untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Saat kita bisa menolong orang lain saat mereka membutuhkan, Itu adalah sebuah pencapaian. Ana berterimakasih untuk orang tuanya, karena walaupun ayahnya adalah seorang anak yatim, dan miskin tetapi ayahnya selalu berprinsip untuk punya harga diri, tidak meminta-minta dan tetap berdiri di atas kaki sendiri. Dengan keterbatasan ekonominya, ayah dari ana tetap percaya diri dan berjuang menyekolahkan semua anaknya. Walaupun biaya kursus bahasa inggris mahal saat itu, ayahnya mengirimkan ana dan adik-adiknya untuk kursus bahasa inggris. Ayahnya juga begitu keras menempa Ana menjadi pribadi yang baik, sampai Ana sempat berpikir dia itu seorang Anak angkat sehingga diperlakukan begitu keras. Tetapi buah dari didikan itu yang membawa Ana sampai kepada level keberhasilannya saat ini.
Yohana Baransano - To Live for Other People

