My Journey from Wamena to Brisbane
LABEWA adalah sebutan untuk anak baik pendatang ataupun orang asli Papua yang lahir dan besar di Wamena. Lahir di awal tahun 80-an membuat saya sedikit banyak tahu tentang perkembangan Kota Wamena. Walau saat ini mulai berkarir di suatu lembaga social di Kota Jayapura, pulang ke Wamena selalu membuat saya tersentak kaget. Kaget karena wajah Kota Wamena yang sedemikian cepat berubah, baik pembangunannya, orang-orangnya, bahkan karakter dari Kota Wamena sendiri. Khususnya di tahun 2000-an. Saya kadang merasa seperti orang baru setiap kali pulang ke kota kelahiran saya. Tapi mungkin lain kali baru saya cerita tentang kota Wamena…
Saya memulai kariri bekerja saya dengan menjadi tenaga pengajar di Almamater saya di Univeristas Negeri Papua di Manokwari. Saya masuk di Fakultas Pertanian Uncen dan lulus dari FAPERTEK UNIPA, itu karena saya masuk pada masa transisi di mana FAPERTA UNCEN berkembang menjadi Universitas sendiri dan lepas dari UNCEN. Saya menjadi tenaga asisten dosen di Fapertek UNIPA, namun saya lebih banyak mengabdi di UPT Bahasa UNIPA. Ini yang selalu menjadi pertanyaan setiap kali saya melamar pekerjaan ataupun beasiswa, bagaimana seorang sarjana pertanian bisa bekerja sebagai pengajar mata kuliah dan kursus Bahasa Inggris? Saya juga bingung menjelaskan, intinya banyak tenaga pengajar bahasa inggris di UNIPA bekerja di Fakultas Sastra UNIPA, sedangkan pada saat itu tanggung jawab pengajaran mata kuliah Bahasa Inggris ke fakultas-fakultas masih berada di UPT PB UNIPA. Tentu saja saya melalui proses seleksi, dan diberikan bekal yang kuat untuk bisa menjadi tenaga pengajar mata kuliah Bahasa Inggris, Selama 2,5 tahun saya menjalani profesi ini. Melalui pekerjaan ini pulalah pelan-pelan saya mulai membangun mimpi saya untuk sekolah yang lebih tinggi, saya selalu berdoa supaya Tuhan bukakan jalan supaya saya bisa belajar di negeri orang, inipun terinsiprasi dari pengajar senior dan dosen-dosen lain yang bisa melanjutkan studi S2 dan S3nya di negeri nun jauh di sana. Saya harus bisa…
Pertengahan tahun 2006 saya mencari tantangan baru, dan Wamena adalah tempat yang selalu dalam mimpi saya selalu memanggil saya untuk pulang dan mengabdi. Tidak sampai sebulan, saya sudah mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga pelayanan social, yang bekerja untuk anak-anak di beberapa wilayah pedalaman di Papua. Akhir 2006 saya mendapat undangan untuk wawancara dari sebuah lembaga pengelola beasiswa bergengsi untuk studi ke Amerika, suatu kejutan besar untuk saya. Saya ke Jakarta dan dengansemua keluguan saya, saya mendapatkan surat lagi bahwa saya lolos untuk tahap selanjutnya yaitu test Toefl dan test lainnya. Akhirnya pada awal tahun 2007, saya mendapatkan surat lagi bahwa saya lulus sebagai kandidat penerima beasiswa. Entah kenapa, tiba-tiba tanpa alasan yang jelas sampai saat ini pada saat-saat menjelang keberangkatan, saya mendapatkan surat lagi yang mengatakan bahwa saya tidak lulus. Yah sudahlah, mungkin bukan rejeki saya, anehnya jumlah penerima beasiswa dari Papua tetap sama, plus seorang lain yang saya sendiri tidak kenal. Sudahlah itu masa lalu, dan sudah berlalu, Tuhan pasti punya maksud dan rencana lain buat saya.
Tentu saja pengalamn tidak mengenakkan tersebut tidak membuat saya surut dengan mimpi saya, I have to go study abroad, I have to…
Saya apply lagi beasiswa dengan Negara tujuan Australia. Kali ini persiapan saya lebih matang, pilihan studi lebih sesuai dengan pekerjaan dan cita-cita saya, dan dampak besar yang nantinya saya harapkan bisa tercapai lebih focus dalam lembaran aplikasi saya. Saya lulus di tahap seleksi awal, smapai akhirnya diundang untuk wawancara dan test IELTS. Dari pengalaman saya kalau bisa saya bagikan, pada sesi inilah sebenarnya seorang calon penerima beasiswa dinilai, baik karakter dan kemampuan akademis dari si pelamar beasiswa tersebut. Saya melihat bahwa pewawancara ingin tahu apakah orang yang melamar ini sungguh-sungguh berniat untuk belajar lebih tinggi? Apakah orang ini sudah siap mental dengan kultur serta tuntutan studi yang ‘lebih serius’? Apakah orang ini sudah membekali dirinya dengan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi? Dan yang terpenting, saya melihat dari mata dan raut wajah pewawancara, saya melihat bahwa ada tanda Tanya besar, apakah orang ini adalah orang yang tepat? Saya yakin kalau setiap pelamar beasiswa, khususnya putra-putri Papua bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, anda layak untuk mendapatkan kesempatan tersebut.
Kenapa saya bilang demikian?
Dari pengalaman saya ikut dalam seminar-seminar atau sosialisasi tentang program-program beasiswa, sangat sedikit sekali minat kita untuk dapat hadir, paling tidak untuk sekedar tahu apa-apa saja yang harus saya siapkan jika ingin belajar ke negeri orang. Saya masih ingat pada saat sosialisasi beasiswa untuk studi di Belanda, salah satu dosen senior protes langsung kepada lembaga yang sedang mempresentasikan beasiswa tersebut. Dia protes karena beasiswa sepertinya lebih berpihak pada pelamar non-asli Papua. Sebelum presenter beasiswa tersebut menjawab, Rektor UNIPA pada saat itu, Prof. Frans Wanggai, langsung memotong. Katanya “Maaf, saya kira untuk ini saya yang harus menjawab. Silahkan saudara lihat dari 100 orang kita yang hadir saat ini, dari 100-an civitas academia UNIPA, tidak sampai belasan orang asli Papua yang hadir, padahal pengumuman tentang acara ini sudah disampaikan ke semua fakultas, unit teknis, dan terbuka untuk semua, bahkan mahasiswa yang tertarik boleh ikut. Kalau hanya untuk sekedar informasi awal saja kita tertarik, jangan berteriak kalau akhirnya staf yang bukan asli Papua yang akhirnya lulus dan mendapat kesempatan untuk belajar di negeri Belanda”. Semuanya terdiam. Saya kira itu bukan saja kritikan atau sentilan buat kita semua, tapi juga sekaligus pertanyaan untuk kita semua refleksikan bersama.
Kembali lagi ke cerita tentang usaha saya untuk mendapat beasiswa. Singkat cerita saya lulus sebagai penerima beasiswa untuk studi masters di negeri kangguru. Saya mendapat kelas 3 bulan persiapan academic English di IALF Bali, dan dalam aplikasi saya, saya mengambil program Master of Agriculture. Seiring berjalannya waktu Selma di Bali, dari hasil tukar pikiran, dan menghadiri berbagai academic seminar yang diselenggarakan oleh IALF Bali, sayapun berubah pikiran untuk mengganti pilihan studi saya. Saya ingin agar studi yang saya ambil akan lebih bermanfaat lebih sesuai dengan bidang pekerjaan yang saya geluti, yaitu di bidang pengembangan sosial dan kemasyarakatan. Untuk hal ini tentu saja saya harus berkonsultasi dengan pihak pemberi beasiswa, berikut dengan alas an yang masuk akal. Tentu saja dengan pertimbangan dan keyakinan bahwa pilihan saya tepat dan saya bisa menyelesaikan studi pilihan saya tersebut.
Puji Tuhan, saya diterima di University of Queensland di Brisbane Australia untuk program Master of Development Practice (Advanced) dengan konsentrasi pada Community Development. Awal januari 2009 sayapun berangkat meninggalkan Indonesia untuk memulai petualangan baru, sesuai dengan mimpi dan doa saya. Culture shock tidak terlalu terasa, karena kehidupan saya di sana sesuai dengan kehidupan ideal yang ada di dalam benak kita semua. Segala sesuatu serba teratur, rapi, bersih, dan lain sebagainya. Bagi yang sudah pernah studi di luar negeri, tentu tahu bahwa culture yang sebenarya adalah ketika kita kembali ke Indonesia. Semuanya seperti salah, Hahaha… Saya ingat kerjaan saya hanya menggerutu ini salah dan itu salah… Hahahaha…
Dari pengalaman saya 2 tahun tinggal di Brisbane, tantangan akademis yang utama adalah basic knowledge on what we are trying to learn. Dalam hal ini, dikaitkan dengan studi yang saya ambil, filosofi dasar tentang social work, humanitarian, project management, community development, dan lain sebaginya sangat minim. Berbeda dengan teman-teman yang asli Australia, mereka sangat kuat dalam konsep-konsep dasar, dan itu terbantu dengan hobi mereka membaca. Saya masih ingat waktu masih di bangku sekolah, untuk anak-anak yang ‘bandel’ dan tidak mengerjakan tugas, hukumannya adalah membaca di depan kelas. Sedangkan bagi teman-teman ‘bule’ kita, membaca adalah pleasure dan award, mereka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang mereka untuk membaca. Jadi benar, membaca membuka mata kita akan dunia yang lebih luas. Yang membantu saya untuk ‘survive’ dalam dunia akademis saya di Australia adalah pengalaman bekerja saya, dan hasil ‘belajar’ saya dari senior dan masyarakat di mana saya bekerja. Dengan begitu mudah bagi saya untuk mengkaitkan temuan di dalam kelas, dengan realita di lapangan. Jadi benar, pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Apakah kemudian saya bertambah pintar? Saya tidak berani menjawabnya. Tapi saya yakin sekali kalau saya bertambah kritis, dan semakin berhati-hati dalam menentukan sikap, dan menjadi sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Segala sesuatu saya akan saya pikirkan baik dan buruknya, dan saya akan riset dulu sebelum saya paham akan suatu isu, saya akan lihat dari kedua sisi sebelum menentukan posisi saya.
Mengenai kesempatan belajar di negeri orang, pesan dari saya untuk teman-teman, khususnya teman-teman asli Papua adalah terus mencoba. Jangan karena sekali gagal, dan kita lepas mimpi kita begitu saja. Saya kenal seorang pelamar beasiswa yang sudah mencoba melamar ke berbagai macam beasiswa luar negeri Selama 7 tahun, dan baru pada tahun ke-8 dia lulus beasiswa. Padahal dia pengajar bahasa inggris di sebuah universitas ternama di pulau Jawa. Jadi, jangan takut dengan bahasa inggris, semua ada proses belajar.
Buat Kitorang Bisa, luar biasa. Terus terang Saya ‘bosan’ dengan website dan blog yang hanya bisa mengkritisi dan membangun pesismisme diantara orang muda Papua yang belakangan ini banyak berkembang di jagad maya. Yang hanya bisa mengkritisi tanpa bisa memberikan solusi, seumpama ada solusipun sangat dangkal dan seperti hanya di awang-awang. Bagi saya, website semacam itu hanya akan melahirkan pemuda-pemudi ‘penonton’ dan ‘penggerutu’ bukan “DO-ers”. Tapi Kitorang Bisa ini memang beda, saya jadi bersemangat kembali dan terus terang jadi terinspirasi kembali dengan cerita-cerita serta usaha-usaha untuk membangun Papua yang digerakkan oleh Kitorang Bisa. Terus maju, teruslah menginspirasi dan tetap semangat yah.
Mohon maaf kalau tulisan saya ini membuat ketidaknyamanan bagi kawan-kawan, sungguh tidak ada niat saya untuk menyinggung. Kalau ada yang salah, saya mohon maaf yah. Tuhan memberkati - “Ninopase Ninom… Wa… Wa… Wa”
Penulis:
Rio Pangemanan
Alumni The University of Queensland, Brisbane, Australia
Tinggal di Dok V, Jayapura

