top of page

Frederika Korain: Perjuangan melelahkan studi ke luar negeri, seorang ‘Mama Papua’ (kisah ini disadur dari www.nengkoala.com)

 

Kontributor:

Frederika Korain MAAPD Student on Gender and Development School of Arts and Sciences, ANU

 

 

 

Saya ingin berceritera bagaimana perjuangan mendapatkan beasiswa ADS ini dimulai agar memberi inspirasi bagi perempuan-perempuan yang jauh di dusun terpencil lainnya. Keterbelakangan dan menjadi ibu rumah tangga, bukanlah hambatan; selama ada mimpi dan kerja keras untuk meraihnya!

Sebagai seorang ibu dengan dua anak perempuan yang masih kecil dan menetap di wilayah yang terpencil seperti Papua, mengambil keputusan untuk melanjutkan studi di negara asing dengan dukungan beasiswa semacam ADS, bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Beban perjuangan kami mungkin berganda bila dibandingkan dengan kawan-kawan lain yang menetap di kota-kota besar dan sarat fasilitas di pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Setidaknya itu terbukti dari pengalaman pribadi saya sendiri. Tempat kursus Bahasa Inggris yang memadai, sarana internet, media massa yang menyajikan informasi secara berkualitas, sumber bacaan pendukung, dan lain sebagainya masih menjadi barang langka; kalaupun ada, terbatas dan mahal. Sekalipun itu Jayapura sebagai ibukota provinsi, tempat dimana kami menetap. Berliku-liku proses yang harus saya jalani, mulai dari perjuangan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris, aplikasi beasiswa ke ADS, keputusan untuk datang kuliah di Australia, semuanya mengandung keputusan-keputusan pelik yang membawa konsekuensi tersendiri. Berbagai diskusi yang harus saya lakukan dengan banyak pihak, terutama suami dan keluarga dekat saya guna mendapatkan pertimbangan-pertimbangan yang matang, sehingga perjalanan studi saya dan keluarga yang saya tinggalkan tidak mendapat banyak rintangan di kemudian hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perjalanan nan berliku ini bermula pada tahun 2008 ketika saya sudah mulai merasa jenuh dengan pekerjaan pengabdian sosial yang saya tekuni selama belasan tahun di Tanah Papua, setelah lulus kuliah S-1 dari Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Terbesit dalam diri saya suatu keinginan untuk melanjutkan studi, dengan tujuan, biarlah pikiran dan jiwa ini bisa disegarkan kembali. Keinginan untuk studi di luar negeri menjadi timbul-tenggelam dalam tahun-tahun kerja saya. Misalnya, ketika berada di Papua, di tengah ketegangan sosial yang setiap hari dihadapi masyarakat dan kontak dengan dunia luar yang begitu terbatas, yang ada hanyalah keinginan untuk kerja dan kerja, bagaimana mencari jalan untuk membantu masyarakat keluar dari berbagai kesulitan hidup tersebut. Namun kemudian dalam beberapa kesempatan saya berkunjung ke Eropa dan Amerika Serikat, hadir dalam berbagai pertemuan internasional yang rupanya menuntut kemampuan tersendiri dalam menyampaikan informasi secara tepat, di situlah dorongan untuk studi kembali memaksaku untuk berpikir keras, mencari jalan untuk mewujudkannya. Hal pertama yang muncul ketika tergagap-gagap berbicara Inggris dalam berbagai forum internasional tersebut adalah secara batin, saya berjanji ‘harus giat belajar Bahasa Inggris, harus kuasai Bahasa Inggris’. Tetapi setelah kembali ke Papua dan tenggelam lagi dalam hiruk-pikuk pekerjaan yang ada, komitmen itu menguap dan menghilang ditelan gunung-gemunung Papua yang menjulang tinggi dan hutan rimbanya yang tiada berujung! Beberapa kursus bahasa yang fasilitasnya terbatas di Jayapura, coba saya ikuti, kendati banyak absennya karena begitu sulitnya membagi waktu. Karena itu, saya terus bermimpi untuk bisa mendapat dukungan finansial yang memungkinkan saya mengikuti kursus Bahasa Inggris jauh ke luar Papua; hanya fokus pada kursus tanpa disibukkan pekerjaan. Mengharapkan biaya dari saku sendiri, tentu amat sulit di tengah kebutuhan hidup keluarga yang begitu tinggi, menyediakan susu untuk anak saja sudah repot!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keinginan yang terpendam itu membawa saya pada sebuah program kursus Bahasa Inggris yang diselenggarakan Pemda Provinsi Papua di IALF Denpasar, Bali. Pada bulan November 2008, seorang saudara sepupu yang mengajar Bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih baru saja kembali dari studi linguistiknya di Arizona University, memberi informasi bahwa ada penerimaan siswa baru pada program kursus Bahasa Inggris Pemda Papua di Bali, ia mendesak saya untuk segera mendaftar. Setelah berdiskusi serius dengan suami, dengan melengkapi berkas administrasi, saya bergegas ke Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi di Jayapura, sebagai salah satu pendaftar dengan usia tertua.  Setelah lulus seleksi administrasi, saya diperkenankan mengikuti ujian masuk (placement test) pada bulan Desember 2008 dengan penguji yang langsung datang dari IALF Bali. Tidak hanya terbatas pada test kemampuan bahasa kami, ada juga interview yang menanyakan alasan dan tujuan kami mengikuti kursus ini; pertanyaan-pertanyaannya hampir mirip apa yang saya dapatkan ketika interview ADS!

Setelah menunggu dua bulan lamanya, pada awal Februari 2009 (sehari setelah ulang tahun saya yang ke-33!), hasilnya diumumkan dan nama saya keluar di antara 36 peserta lainnya untuk mengikuti kursus di Denpasar. Saya merasakannya sebagai sebuah kado ulang tahun yang begitu indah, suatu hasil yang diraih di tengah penantian dan mimpi yang panjang! Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di gedung IALF Denpasar, saya merasakan bahwa sebuah pintu pertama untuk studi ke luar negeri mulai terbuka, tanpa tahu ke negara mana saya akan pergi, yang penting belajar bahasa dulu. Karena merupakan program khusus, di IALF Denpasar kami disiapkan dua kelas khusus pula, dengan materi yang terfokus pada pemahaman umum Bahasa Inggris, sesekali diisi dengan Academic English dan keterampilan komputer. Pada akhir kursus, diberi persiapan test IELTS setelah ada evaluasi dari pihak IALF bahwa kemampuan kami sudah memenuhi standar dan siap untuk ikut test. Kepada kami pihak IALF juga menyediakan informasi berbagai beasiswa yang ditawarkan kedutaan asing, bahkan ada sesi khusus berisi penjelasan mengenai prosedur melamar beasiswa ADS dari staf ADS yang datang dari Jakarta. Begitu bersyukurnya saya karena barulah di tempat kursus ini saya mendapat kesempatan untuk mengetahui puluhan jenis beasiswa asing yang ditawarkan berbagai negara kepada masyarakat Indonesia. Sungguh sayang bahwa kami di Papua begitu terlambat, jauh tertinggal, miskin informasi dan pengetahuan yang cukup untuk merebut kesempatan yang ada.

 

Kami semua yang mengikuti kursus ini adalah anak-anak asli Papua, berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda: jumlah terbesar didominasi para dosen dari Universitas Cenderawasih di Jayapura dan Universitas Negeri Papua di Manokwari, kemudian tenaga-tenaga professional non-dosen, lalu sarjana-sarjana muda yang baru lulus dari universitas. Tahun saya merupakan angkatan kedua dari program ini, dengan peserta perempuan jauh lebih sedikit dari peserta laki-laki. Setidaknya ada enam orang diantara kami yang sudah berkeluarga sehingga harus meninggalkan anak dan suami/istri jauh di Papua. Pihak Pemda mengontrak beberapa barak rumah yang berdekatan dengan IALF untuk kami tinggal selama mengikuti kursus, sehingga memungkinkan kami hanya jalan kaki pulang pergi antara rumah kontrakan dan pusat kursus. Kami juga dibekali biaya hidup yang kami terima setiap bulan, dengan jumlah yang sama untuk setiap siswa/-i. Enam bulan lamanya kursus ini berlangsung, bersamaan dengan kehamilan anak kedua saya; suatu kehamilan yang sebetulnya tidak direncanakan dengan matang..   Ini merupakan pengalaman pertama menjalani kehamilan di tengah program kursus yang begitu intens dan menguras energi, bahkan pula jauh dari suami dan anak tertua saya yg baru berusia 2 tahun 3 bulan. Kursus berlangsung selama lima hari kerja penuh, dari jam delapan pagi hingga jam tiga sore, ditambah studi mandiri di sore hari di ruang Resource Center-nya IALF. Sebagai ibu hamil, saya biasanya sudah lelah pada kelas siang sehingga memilih pulang untuk tidur dahulu kemudian kalau masih ada tenaga, sorenya saya bisa kembali ke sekolah untuk belajar. Sesekali di akhir pekan, kami merencanakan acara piknik bersama ke Bedugul atau Kintamani, atau acara makan papeda-ikan kuah kuning (makanan khas Papua) hanya untuk hiburan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada bulan Agustus 2009, beberapa diantara kami diijinkan ikut test IELTS. Dua minggu lamanya kami dipersiapkan dengan semua skills yang akan diuji dalam test itu. Saya mulai mendapat gambaran yang jelas, aplikasi ADS yang akan tutup tanggal 4 September tahun itu juga menjadi target saya untuk melamar. Sikapku yang mantap memilih ADS didukung adanya kemungkinan untuk membawa serta keluarga ketika studi di Australia nanti.  Selain itu, informasi yang lengkap mengenai proses aplikasi saya dapatkan juga dari beberapa orang penerima beasiswa ini yang sedang mempersiapkan Bahasa Inggris mereka di sana. Pada saat ini, kondisi kehamilanku  bertambah besar dan menyulitkanku untuk duduk lama di dalam kelas, sejenak menjadi olok-olokan beberapa kawan karena saya harus meminta kepada direktur IALF agar ditempatkan sebuah bangku lipat khusus yang memungkinkan perut buncitku bisa masuk tanpa tekanan yang menimbulkan rasa sakit yang berlebihan… Karena adanya target untuk melamar ADS tahun itu dan pertimbangan usiaku yang makin bertambah, hari-hari persiapan test IELTS membuatku sangat tertekan, tensi darahku naik melebihi batas normal, pikiranku dipenuhi ketakutan akan lulus atau tidak. Sebab kalau tidak lulus, berarti saya harus test ulang sebelum bulan September, dan itu berarti ada kesulitan besar yang akan saya hadapi, saya harus mencari biaya sendiri untuk datang test di Denpasar, Jakarta atau Surabaya. Membayar tiket pesawat Papua-Jawa/Bali saja sama dengan bepergian ke luar negeri, seharga tiket sekali jalan Jakarta-Sydney!

Di tengah persiapan yang menegangkan, saya akhirnya jatuh sakit lalu pergi berkonsultasi dengan dokter kandungan langganan saya di kota Denpasar. Sang dokter memberi beberapa obat penenang dan vitamin untuk menjaga kondisi saya hingga test nanti. Syukur, selama persiapan ini tegangan mental yang kami rasakan sedikit terkurangi berkat gaya mengajar sang guru Amerika yang humoris dan memiliki kemampuan hypnotist. Ia rupanya memahami sekali kondisi kami, beberapa kali di kelas dibuatlah kegiatan selingan yang bertujuan menenangkan pikiran kami. Akhirnya, test IELTS itu dilaksanakan juga pada 16 Agustus 2009, berlangsung dua setengah jam lamanya; suatu penderitaan tersendiri bagi seorang ibu hamil tua untuk duduk tanpa beranjak ke kamar mandi sekedar membuang air kecil…  Sejak pagi saya menahan diri tidak meneguk banyak air. Saya pasrah sepenuhnya pada kehendak Tuhan, bahwa ‘jika hasil IELTS ini baik, maka perjalanan selanjutnya akan saya lalui dengan baik pula’.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Usai test sore itu, bebanpun terasa pergi sudah, sekarang waktunya untuk berkemas dan pulang kembali ke Papua bertemu keluarga sambil menanti hasil test dan waktu persalinan. Ketika hendak terbang ke Jayapura (21 Agustus), saya malah mengalami kesulitan lain lagi di airport Ngurah Rai: Garuda tidak ingin mengangkut saya dengan alasan, kondisi kehamilan yang sudah melebihi batas aman untuk terbang. Pada jam satu subuh itu saya terpaksa batal berangkat dengan hati yang amat sedih, kawan-kawan lain jadi terbang, tetapi saya dengan menahan kesedihan sekaligus kerinduan untuk bertemu anak dan suami saya, bersama seorang sepupu kami kembali ke Denpasar untuk menanti pagi dan kami coba mengatur tiket pada penerbangan lainnya. Syukur, akhirnya Lion Air mau menerima dan pada 23 Agustus subuh, saya bisa mendarat dengan selamat di Airport Sentani di Jayapura, walau memang dalam kondisi kedua kaki yang bengkak dan perut yang sakit karena guncangan selama penerbangan. Namun, rasa sakitku seakan hilang diganti semangat yang begitu membara selama perjalanan lantaran siang hari sebelum terbang, saya mampir sejenak di IALF dan kepada saya diperlihatkan hasil test IELTS saya yang mencapai 6.5; suatu hasil yang seketika menghapus kesedihanku dan tumbuh harapan yang menggebu-gebu untuk melamar ADS setelah tiba di Papua.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kedua Putri Cantik dari Kaka Rika Korain sedang berpose

Kaka Rika berpose dengan teman-teman papua lain saat sedang program persiapan bahasa inggris di bali

Suasana belajar dalam ruangan kelas bahasa inggris di bali. Kaka Rika tersenyum dengan perut besarnya karena saat itu sedang hamil

Beuuh...sa pu kaka rika pangaruh skali ..stel dengan batik papua...siap untuk test IELTS

bottom of page