top of page

Christov Manuhutu - Semua karena Kehendak Tuhan

PART 1

"Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Saya, Christov Manuhutu, seorang muda yang berasal dari Timur. Dibesarkan di tengah keluarga yang penuh kasih memberikan saya dorongan untuk berbuat lebih bagi orang lain. Baru saja saya menyelesaikan pendidikan saya di Universitas Bakrie pada awal tahun ini.

 

Ada banyak sekali kisah yang hendak saya bagikan kepada kitong semua karena saya percaya bahwa kisah ini dapat menjadi penguatan bahkan inspirasi bagi banyak orang bahwa Tuhan masih ada. Ketika memasuki tahun akhir di SMA, banyak dari teman-teman saya telah memikirkan mereka hendak lanjut kemana. Saya sendiri pada waktu belum tahu akan kemana pada awal semester akhir itu. Tapi Tuhan tahu. Satu hal yang jelas, saya harus membantu orang tua saya karena masih ada adik-adik di bawah saya yang masih juga sekolah. Di pertengahan bulan April 2009, saya mendapatkan informasi mengenai aplikasi beasiswa ke ITB. Beasiswa ini memberikan saya kesempatan untuk kuliah dan diberikan pula biaya hidup serta bimbingan dari para alumni ITB. Beasiswa yang lengkap kalau boleh dibilang demikian. Namun tenggat waktu yang diberikan ternyata sudah sangat dekat, menyiapkan berbagai dokumen tidaklah begitu mudah, apalagi ditambah saya masih harus menuliskan esai karangan untuk masuk kesana. Puji Tuhan selesai semua dan setelah menyiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan, saya pun segera mengirimkan pendaftaran pada hari jumat, 3 hari sebelum ditutupnya pendaftaran. Namun saya ragu, waktu yang begitu dekat nampaknya mustahil agar aplikasi tersebut sampai di Bandung tepat pada waktunya. Keraguan ini dijawab oleh ayah saya, ia bilang “Sudah.. Bila kamu yakin, itu pasti bisa. Kamu berdoa saja.”

 

Menunggu kata orang banyak tidak enak. Dan itulah yang saya rasakan. Saya pun gelisah tak tahu harus berbuat apa. Teman-teman saya sudah mengirimkan aplikasi pendaftaran ke Universitas Cenderawasih, ada yg mengirimkan ke Universitas Airlangga Surabaya, ada juga yang mengirimkan ke Jogja. Namun hanya saya yang tidak mendaftar kemana-mana selain ITB. Saya hanya berharap Tuhan mendengar doa saya.Sekuat-kuatnya saya berharap dan berdoa saya pun sampai di titik dimana saya akhirnya menyerah, ya saya menyerah untuk menunggu. Hari itu, saya tengah duduk dengan seorang teman di sekolah, dan saya berkata “Hari ini sa su tra mau tunggu lagi ITB. Sa mau daftar ke UNCEN”. Namun perhatikan bahwa saat kita menyerah sepenuhnya, Tuhan bekerja seutuhnya. Isa Almasih atau Yesus Sang Juru Selamat yang menjadi panutan dan Tuhan yang berkuasa dalam hidup saya pernah bersabda : “Seorang penjahat saja tetap memberikan anak-anaknya makanan yang baik, apalagi Bapa di Sorga”. Tak berapa lama setelah mengatakan hal tadi, saya pun pulang. Dan di perjalanan pulang, pihak tata usaha sekolah memberitahukan bahwa ada surat untuk saya dan tadi telah diantarkan ke rumah. Hati saya berdegup kencang, surat apa ini?. Sebegitunya saya sampai di rumah, surat itu pun saya buka. Dan benar saja doa dan harapan saya selama ini, saya dipanggil ke ITB untuk tes terpusat di Bandung dan seluruh biaya perjalanan serta akomodasi ditanggung oleh panitia. Sungguh ini adalah mujizat yang menjadi nyata, Tuhan masih ada. Lantas bagaimana Tuhan menuntun perjalanan saya selama ke ITB? Sahabat, nantikan kisah selanjutnya di tulisan saya yang mendatang ya. Salam hangat penuh semangat.

 

PART 2

Di note sebelumnya saya menuliskan satu ayat dari Alkitab yg teringat selalu bahwa "Apa yang tak pernah dilihat mata, apa yang tak pernah didengar telinga, apa yang tak pernah timbul di dalam hati. Semua disediakan-Nya bagi yang mengasihi Dia.".

 

Saya tidak pernah mendengar kampus Bakrie sebelumnya, apalagi melihatnya. Sebab kampus Bakrie itu baru terdengar setelah saya ada di ITB. Pomto, seorang teman saya dari Jambi yang memberitahukan tentang kampus Bakrie. Kami waktu itu tengah berteduh karena hujan di pelataran gedung Teknik Sipil dan Lingkungan di areal kampus ITB Bandung. Sembari menunggu kami bercerita dimana Pomto bertanya kepada saya “Tov, kamu ada cadangan ga?”, “Cadangan apa maksudmu?” begitu tanya saya. “Cadangan kuliahlah..” balasnya. Saya sempat tertegun sejenak karena memang belum pernah terpikir tentang hal ini namun dengan segera saya menjawab “Saya mungkin mau daftar kedokteran di Uncen saja”. Pomto lalu bilang “Saya sudah diterima di Bakrie, Tov. Ada beasiswa kuliahnya sampai selesai tapi tidak ada biaya hidupnya. Saya diterima di manajemennya”. Begitu mendengar kata “beasiswa”, saya langsung menyimak lebih lanjut dengan seksama. Jurusan ekonomi amatlah berbeda dengan ilmu IPA yang saya pelajari di SMA, tapi sayang sekali biaya hidupnya tidak ada. Jadi dalam pikiran saya, saya rasa ini hal yang tidak mungkin. Tapi bagi Tuhan tiada yang mustahil. Untuk memuaskan rasa penasaran, satu pertanyaan terakhir saya ajukan pada Pomto “Dimana tempatnya?”. Pomto menjawab “Di Jakarta”. Jawaban terakhir dari Pomto ini seolah menggenapi kemustahilan harapan saya untuk mendaftar kesana, terang saja saya sampai di Bandung sudah suatu anugerah Tuhan yang luarbiasa. Tapi Jakarta? Pikir saya ini butuh anugerah lain yang lebih luar biasa. Saya harus akui bahwa pikiran saya kala itu tidak selebar saat ini, menyadari bahwa Isa Almasih/Yesus Sang Juruselamat lebih dari 2000 tahun lalu telah mengorbankan nyawanya untuk menebus dosa saya. Lantas anugerah apa lagi yang lebih luar biasa yang saya butuhkan?

 

Memang dengan informasi dari Pomto, saya tidak serta merta langsung menjadi mahasiswa di Bakrie. Tapi sebelum saya lanjutkan tulisan saya, sahabat saya ingin kamu merenungkan bersama saya bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya. Tuhan mengirimkan seorang sahabat dari Jambi untuk bertemu dengan saya yang datang dari Papua di Bandung hanya untuk menyampaikan bahwa ada kampus yang namanya Universitas Bakrie. Bagi mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan, mereka akan bilang bahwa ini adalah kebetulan. Tapi lihat, ayat “Apa yang tak pernah dilihat mata, apa yang tak pernah didengar telinga, apa yang tak pernah timbul di dalam hati. Semua disediakan-Nya bagi yang mengasihi Dia." mulai menjadi nyata dalam hidup saya. Mengapa saya memakai kata “mulai”? Karena sesungguhnya, Tuhan baru saja memulai karya-Nya.

 

Oke, sampai disini kampus Bakrie sudah saya dengar dari Pomto tapi saya ajak sahabat mundur dulu beberapa waktu ke belakang. Mundur sampai waktu dimana saya baru tiba di Bandung. Kamis, 28 Mei 2009 bis Primajasa menghantarkan saya dari Bandara Soekarno Hatta langsung ke Bandung. Saya tiba satu hari sebelum semua peserta. Alasannya sederhana, Jayapura-Jakarta-Bandung menghabiskan lebih dari 12 jam perjalanan. Saya butuh istirahat sebelum lanjut ikut dalam rangkaian proses tes di ITB. Rupanya kedatangan saya yg lebih awal ini memaksa panitia tes ITB memutar otak untuk mencarikan saya penginapan untuk semalam. Pasalnya asrama peserta tes baru dibuka keesokan harinya. Akhirnya saya diinapkan di rumah salah seorang panitia bernama Mas Andri untuk semalam. Hari itu terasa melelahkan memang.  Esok paginya saya dijemput oleh panitia untuk masuk ke asrama peserta dan selanjutnya mengikuti proses tes. Dari sinilah saya akhirnya berjumpa dengan Pomto.

 

Proses tes di ITB harus saya akui amatlah berbeda dengan berbagai tes yang saya jumpai di Papua. Diantara semua tes yang ada, yang paling unik bagi saya adalah tes “kertas koran”. Sebuah tes menggunakan angka acak 1-9 yang diatur sedemikian rapinya dalam kolom dan baris di satu kertas besar seperti kertas koran. Setelah kertas itu dibagikan, kita diminta menjumlahkan lalu menuliskan hanya angka tanpa puluhan disamping angka tadi. Hal ini harus dilakukan sembari konsentrasi mendengarkan kata “titik” untuk menuliskan titik diantara angka-angka hasil jumlah tadi. Sahabat apakah kalian bingung? Itu pula yang saya rasakan ketika menjumpai tes ini di ITB. Saya pun berusaha ikut sampai malam belajar dengan teman-teman di penginapan. Beberapa alumni ITB datang membagikan tips trik untuk persiapan tes. Terdengar sepintas bahwa diantara kami para peserta tes ada jawara-jawara olimpiade nasional. Gugup juga jadinya. Tapi apapun itu, masa depanku kuserahkan ke dalam tangan Tuhan karena sebesar apapun tantangan yang ada di hadapanku, aku tau tantangan itu tidaklah terlalu besar bagi-Nya.

 

Benar saja, ketika selesai proses tes di ITB ada seorang dosen ITB bernama pak Bagyo. Beliau adalah ayah dari Mas Andri. Ia datang ke asrama dan mengajak ikut ke rumah yang tempo hari saya menginap untuk semalam. Ayah saya yang sepanjang perjalanan teguh menemani menginap disana selama saya berada di penginapan untuk tes. Entah sudah ada pembicaraan sebelumnya atau tidak antara ayah dan pak Bagyo, yang jelas saya sore itu berbincang dengan pak Bagyo. Dan beliau berkata “Kamu boleh tinggal di rumah saya untuk tes lagi di kampus lain di sini (baca: di Jawa) bila kamu mau. Jadi kamu tidak perlu balik ke Papua segera." Saya diminta untuk memberikan jawaban mengenai pertanyaan beliau sore itu. Ini pertanyaan sederhana namun tidak mudah bagi saya. Saya bertanya kepada ayah saya, "Pa, bagaimana kalau saya balik ke Papua. Saya ingin ikut pesta kelulusan SMA.". Ayah saya memberikan saya jawaban terbaik  ketika ia tidak menyuruh saya tinggal atau pun menyuruh saya pulang namun bertanya "Kamu mau berpikir tentang masa depanmu atau mau pesta pora?". Saya sudah tahu jawaban mana yang harus saya ambil. Saya diberikan kesempatan oleh ayah untuk memilih. Seorang ayah yang baik paham bahwa inilah waktunya bagi sang anak untuk memilih sendiri masa depannya. Dengan restu dan doa dari beliau, saya memantapkan diri untuk tinggal di Bandung sementara waktu. Ayah pun pulang dua hari berselang ke Papua.

 

Pak Bagyo menerima saya di keluarganya seperti anaknya sendiri. Saya tahu inilah anugerah dari Tuhan. Seorang yang tidak memiliki hubungan darah diberikan kuasa untuk menerima saya dalam rumahnya. Pak Bagyo pun bertanya, "Dimana kamu mau tes lagi untuk kuliah?". Pertanyaan ini saya renungkan seharian. Bagi saya kriteria yang utama tentu saja haruslah beasiswa mengingat adik-adik saya yang masih sekolah. Ketika masih di Jayapura, saya sempat membaca tentang beasiswa S-1 Monbukagakusho dari Pemerintah Jepang yang melangsungkan tempat tesnya di Jakarta. Setelah berdiskusi dengan pak Bagyo mengenai tempat tes yang di Jakarta, ini menjadi pilihan tes nomor satu saya. Yang kedua tentu saja yang paling teringat dalam benak saya, Universitas Bakrie yang diberitahukan oleh Pomto tempo hari. Saya menelusuri lebih lanjut kampus ini, dan benar ada beasiswa sebagaimana yang dikatakan Pomto. Tempat tesnya di Jakarta juga. Pak Bagyo pun setuju dengan rencana saya untuk tes untuk ke dua tempat ini.

 

Cerita ini akan menjadi sangat panjang hingga berujung ke Bakrie tapi sampai disini, sahabat kalian sudah bisa memperkirakan bagaimana cerita ini berujung bukan? Mengetahui ITB tidak diterima dan Bakrie diterima, saya pun akhirnya memilih kampus Bakrie sebagai tempat saya menempuh ilmu. 

 

Nyata dalam hidup saya bahwa “Apa yang tak pernah dilihat mata, apa yang tak pernah didengar telinga, apa yang tak pernah timbul di dalam hati. Semua disediakan-Nya bagi yang mengasihi Dia”. Dan saya percaya ini bisa terjadi dalam hidupmu juga.

 

Bagaimana perjalanan saya selama di kampus Bakrie selama 7 semester disana?

Baiklah sahabat, kita harus berpisah disini.

Sampai jumpa di tulisan saya berikutnya.

bottom of page